Apa yang telah dikemukan diatas adalah sejarah dan gambaran pada masa lalu yang berimbas pada masa sekarang ini. Kondisi sekarang ini pun tidak lebih parah pada masa lalu. Namun begitulah sebuah kehidupan yang memiliki siklus perputaran. Bagaikan sebuah roda, dimana pada satu sisinya berada diatas dan sisi lainnya berada dibawah. Akan tetapi bukan berarti kita tidak mampu untuk mempertahankan sisi (atas) tersebut untuk jangka waktu lama. Kejayaan suatu bangsa akan terkendali bila manusianya mempertahankan nilai-nilai religiusitas. Rasullallah dan para sahabatnya mendapatkan kejayaan peradaban hanya membutuhkan waktu sekitar 80 tahun saja. Sedangkan bangsa Romawi mencapai puncak kejayaan peradabannya membutuhkan waktu hampir 1000 tahun. Dan bertahannya kejayaan tersebut tidak lebih dari kurun waktu 1000 tahun pula.
Indonesia yang dihadapan kita sekarang ini, yang sedang mengalami berbagai macam penyakit. Yang mendapatkan serangan-serangan baik dari dalam maupun dari luar, tidak akan mampu diselesaikan dengan sekelumit orang atau hanya dengan satu aspek saja, misal ekonomi. Anda pun telah mengetahui bahwa semua kemerosotan ini mempunyai akar yang tertanam jauh dalam masyarakat kita, baik dari sejarah, tradisi,sistem budaya,politik,ekonomi, pendidikan, bahkan keagamaan kita dan bahwasannya rangkaian kemerosotan itu saling terkait satu sama lain.
Kami – disini – tidak mengatakan bahwa tidak adanya upaya baik pemerintah maupun masyarakat luas untuk menanggulangi kemerosotan moral dan berbagai macam lainnya. Kegiatan-kegiatan yang bersifat pendidikan dari kalangan muda sampai kalangan tua,pengajian-pengajian agama, mencegah masyarakat dari kemungkaran, mendorong melakukan sholat, perombakan sistem pendidikan yang ada, memang sejenak dapat berjalan dengan baik,namun segera padam kembali atau langkah yang di perjuangkan masih bersifat kelompok-kelompok kecil, yang melakukan hanya orang-orang itu saja. Namun disisi lain gempuran dari luar begitu hebatnya. Dan kalau pun anda kemudian berusaha mengatasi seluruh kemerosotan itu melalui perbaikan dan penataan kembali akhlak masyarakat,keluarga, lingkungan, sistem pendidikan, sistem ekonomi ,sistem politik, maka rasa-rasanya upaya itu selalu tidak mempan. Hal itu dikarenakan semuanya muncul dari dasar yang kini terdapat dalam sistem kehidupan kita bersama dengan disusul oleh sumber yang sama pula. Akhirnya berbagai kejahatan lain muncul dan tumbuh subur sehingga tidak bisa tidak, yang mesti kita lakukan adalah perombakan total dari akar sampai ujung daunnya, dengan tujuan menyeimbangkan dan merekontruksinya kembali
Pertama, Pendidikan atau Tarbiyah. Pendidikan pun terbagi ke beberapa cabang, Pendidikan dari lingkungan Keluarga, Pendidikan Keagamaan, Pendidikan akademik / bersifat keilmuan dan alam pikiran yang tidak terlepas dari sendi-sendi dan nilai-nilai ke Tuhan-an.
Hagia Sofia Belulrol Kesenian Muslim Spanyo |
Pendidikan keluarga. Keluarga adalah lingkungan terdekat dan berpotensi paling besar bagi kelangsungan hidup seorang anak. Dimana anak akan beradaptasi, meniru, merasakan, berfikir, bersikap, belajar, mengembangkan potensi dan menjadi pribadi-pribadi yang baik. Keluarga tidak hanya menghidupinya secara jasmani saja. Namun keluarga harus menghidupinya secara, kejiwaannya, kepribadiannya, rohaninya. Orang tua harus menjadi pendidik yang baik dan berakhlak. Situasi dan iklim religius harus di utamakan. Mengajarinya ilmu-ilmu dan memberikan pemahaman mana yang baik dan mana yang buruk. Orang tua harus siap menjadi pendidik yang baik dan menguasai segala permasalahan, baik keagamaan, ilmu pengetahuan. Anak tidak membutuhkan harta, namun lebih membutuhkan kasih sayang, perhatian,bimbingan dan perlindungan dari orang tuanya.
Suatu hari, hakim Syuraih yang terkenal keadilannya didatangi oleh anaknya. Ia berkata, “Ayah,aku punya masalah dengan seseorang. Tolong Ayah dengar dulu permasalahannya. Jika menurut Ayah aku yang benar, aku bermaksud membawanya ke pengadilan. Tetapi jika sebaliknya, aku akan menyelesaikannya secara damai.
Setelah mendengar permasalahan dari anaknya, hakim Syuraih tahu bahwa putranya ada dipihak yang salah. Namun ia tidak memberi tahukannya secara terus terang, bahkan sebaliknya, ia mendorong putranya untuk maju ke pengadilan. “perkarakanlah ia ke pengadilan,” begitu kata Syuraih.
Akhirnya, setelah sidang di gelar, anaknya tidak menyangka ternyata ayahnya menyatakan putranya kalah atau bersalah dalam perkara tersebut. Anak itu pun kecewa dan marah. Ia merasa ditipu oleh ayahnya sendiri.
Setelah keduanya sama-sama tiba dirumah, sang putera melampiaskan kekecewaa nya. Syuraih pun menjelaskan, “Dengarlah wahai anakku. Di dunia ini kamu adalah orang yang paling aku cintai. Tetapi Allah jauh lebih aku cintai. Seandainya aku berterusterang bahwa kamu dipihak yang salah sebelum kamu ke pengadilan, aku khawatir kamu akan berdamai dengan cara menyuap orang yang sedang punya masalah denganmu. Bila itu kamu lakukan, itu sama sekali tidak bisa dibenarkan, wahai anakku.”
Lihatlah Syuraih mendidik anaknya. Dia tidak serta merta menyalahkan anaknya dengan begitu saja. Akan tetapi pendidikan dan pemahaman kepada anaknya tersebut akan membuahkan hasil di kemudian hari. Memang pahit bagi anak, setidaknya untuk waktu itu. Namun dia akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang cakap dan bijaksana.
Pendidikan yang Syuraih berikan kepada anaknya bagian dari pendidikan keagamaan. Maka inilah yang ke dua, Pendidikan Agama. Islam tidak hanya menganjurkan umatnya untuk melaksanakan ritual-ritual saja. Melainkan keseluruhannya. Untuk mengatur jalannya kehidupan umat manusia. Dari hal hubungan individu dengan Allah sampai hubungan individu dengan masyarakat,negara,antar negara yang tertuju ke Tuhan Alam Semesta yakni Allah. Ini semua disebut dengan ibadah. Manusia hidup untuk ibadah bukan lainnya. Setiap gerak dan sendi-sendi kehidupan manusia adalah merupakan ibadah. Maka ibadah misi dan tugas yang wajib di jalankan dan dihayati dengan ilmu dan amal.
Ibadah yang dilakukan hendaknya merupakan wujud dari penghinaan diri, cinta dan ketundukan manusia pada Rabb Nya. Ibadah memiliki berbagai tingkatan yang menentukan hasil ibadah itu sendiri di sisi Allah. Ibadah tanpa diikuti dengan kecintaan dan ketundukan akan menjadikan ibadah itu sia-sia dan kurang bermakna bagi kehidupan individu itu sendiri.
Namun ibadah sendiri harus dilakukan dengan memiliki ilmu. Dengan ilmu ini ibadah itu akan terarah dan teratur. Maka untuk merubah masyarakat ini, kita perlu dan harus memberikan terlebih dahulu pondasi-pondasi yang kokoh, yakni Tauhid atau Aqidah yang benar dan lurus dengan tidak dicampuri dengan bumbu-bumbu lainnya yang menjadikan Aqidah tersebut rusak atau kotor.
Dengan begitu akan melahirkan keimanan yang kokoh dan pemahaman yang benar dan lurus. Karena Islam membutuhkan manusia-manusia yang taat, bukan manusia-manusia yang kuat secara fisik.
Karenanya agama ini harus di lalui dengan sikap taat dan menjalankan hukum. Taat, apapun yang dianjurkan akan dilaksanakan, apapun konsekuensinya. Kedua mengerti akan hukum bahwa taat pada suatu hukum akan melahirkan pemahaman yang benar dan kedisiplinan.
Dengan adanya pondasi-pondasi yang kokoh dan benteng-benteng yang kokoh pula akan melahirkan kekuatan yang sempurna dan akan melahirkan masyarakat yang ber-kebudayaan dan ber-peradaban. Karena hukum akan melahirkan budaya. Semisal kecil, ketika kita dianjurkan makan menggunakan tangan kanan, maka janganlah ada kata-kata, mengapa? Kenapa? Untuk apa? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan menyesatkan diri kita sendiri dan mengikis keimanan. Karenanya ketika anjuran itu diberikan maka kewajiban kita adalah taat pada perintah tersebut, taat pada hukum tersebut, taat pada prosedur. Akan hal manfaat atau hikmah dibalik perintah tersebut akan muncul dan lahir ketika kita melaksanakan dengan kesungguhan dan tanpa bantahan sedikit pun.
Pada masa khalifah Abu bakar, Umar bin khattab diangkat sebagai hakim. Tahun demi tahun terus berlalu, ternyata tidak ada satu pun pengaduan dari masyarakat ke mahkamah agung. Sampai-sampai umar berkata kepada khalifah Abu Bakar, “Sudahlah,lepas saja jabatanku ini, orang-orang sudah mengerti akan hak dan kewajiban mereka, sehingga tidak ada yang mengadukan saudaranya.
Lihatlah sejarah diatas. Dimana pada masa itu masyarakatnya banar-benar mengerti dan memahami tugas-tugas dalam hidupnya dan dalam ibadahnya. Sampai-sampai Umar bin Khattab ingin jabatannya di lepas,karena sudah tidak ada lagi kesibukan dalam jabatannya tersebut.
Itulah yang kita sebut kebudayaan dan peradaban yang lahir dari ketaatan dan mentaati hukum. Meskipun budaya itu sendiri lahir dari kebiasaan. Tetapi hukumlah yang menertipkan kebiasaan tersebut. Akan tetapi ketika hukum tak mampu mengelolah kebiasaan masyarakatnya, di wilayah publik, saat itulah kekacauan pribadi dan masyarakat akan menjadi wabah kekacauan sosial.
Dari sisi ini saja kita mendapati 3 aspek. Dimana sebuah kehidupan dengan segala atribut peradabanya, juga kejahatan yang marak di dalamnya, adalah juga penjelasan tentang kadar keimanan, pemahaman akan agamanya dan ketaatan pada hukum yang berlaku.
Dengan terjaganya 3 aspek tersebut, maka sebuah kondisi masyarakat akan terjaga. Karenya keimanan yang benar akan melahirkan akhlak, baik tutur kata ataupun prilaku yang indah. Ibaratnya iman bagaikan aliran listrik yang mampu mensupplay kebutuhan lampu-lampu. Semakin besar tenaga atau sumber listrik tersebut semakin banyak lampu-lampu yang bisa dihidupkan.
Ketergantungan kita akan adanya iman bagaikan ketergantungan kita terhadap makan dan minum. Namun iman tidak akan berdiri dengan kokoh bila tidak adanya ilmu. Karena ilmu bagaikan cahaya. Dengan ilmu ini Allah menujuki manusia dan menerangi jalannya untuk menelusuri kehidupan dimuka bumi ini.
Ilmu pengetahuan bagaikan teman akrab di saat susah, sahabat di perantauan, teman bicara dikala sepi, penuntun dalam keadaan lapang dan sempit dan senjata untuk menghadapi musuh (untuk benteng diri). Dengan ilmu seseorang dapat mengenal baik dan buruk, halal dan haram. Iman dan ilmu selalu berjalan beriringan.
Sedikit kilas balik. Dulu, orang-orang Islam sangat menghargai dan mencintai berbagai bentuk ilmu pengetahuan, lalu mereka pergi ke barat dan ke timur untuk mendapatkannya. Mereka memungut apa saja yang didapatkan dalam perjalanan tersebut. Segala yang didapat itu diolah dan diberi warna Islami yang mengikat semua segi kehidupan dengan ikatan aqidah.
Di zaman para pemula, ilmu pengetahuan berkembang pesat, baik di Yunani, India,Persia maupun di Cina. Sehingga ada orang bijak yang mengatakan: “Tuntutlah ilmu walaupun ke negeri Cina.” Ungkapan ini diilhami oleh pengarahan Rasulullah kepada kaum Muslimin untuk mencurahkan semua kemampuan demi mendapatkan ilmu pegetauhan. Dengan demikian ummat pun giat menuntut ilmu tanpa memperdulikan berbagai hambatan.
Sebab itulah dalam waktu yang relatif singkat, kaum Muslimin telah menguasai berbagai disiplin ilmu. Mereka menekuni semua cabang ilmu pengetahuan yang populer saat itu, kemudian mereka mulai merambah dan mengadakan perbaikan, sehingga meuncullah dari kalangan mereka sejumlah pakar di berbagai lapangan. Ada yang menekuni fiqh :yang di maksud dengan fiqh di sini mencakupi semua konsep dasar tentang kehidupan, termasuk di dalamnya ilmu ekonomi, politik,perang,damai dan tatan sosial. Ada pula yang ahli di bidang ilmu teoritis dan praktis, seperti matematika,astronomi,ilmu alam,kimia dan kedokteran. Nama para pakar tersebut terukir dengan tinta emas dalam lembaran sejarah. Mereka telah berjasa mendorong peradaban ummat manusia beberapa langkah ke depan. Sementara mereka, seperti Al-Hasan bin Al-Haitsam, sampai abad ke 19 masih menjadi guru pada materi yang ia kuasai. Orang-orang Eropah banyak menimbah ilmu dari beliau.
Saat itu, ilmu adalah suatu suatu hal yang sakral dalam jiwa ummat, sama sakralnya dengan aqidah. Kesucian ini meliputi guru dan murid. Masing-masing mereka merasa gentar dan takut, merasa lega dan gembira di keharibaan Allah.
Menuntut dan mengajarkan ilmu adalah tugas suci yang harus dilaksanakan dengan jujur dan tulus. Seseorang berusaha menuntut ilmu,sebab hal itu merupakan suatu kewajiban. Ia juga mengajarkannya kepada orang lain, yang juga merupakan kewajiban.
Pencapaian ilmu pengetahuan yang diwariskan oleh pakar Muslim – baik kita kagumi atau tidak, karena kita menilainya dengan mentalitas pengetahuan modern – adalah suatu pencapaian yang memerlukan usaha keras dan tulus. Tak seorang pun di antara mereka menyusun buku untuk mendapatkan uang atau popularitas. Mereka mengarang buku, hanya karena mereka selalu mengkaji dan meneliti, kemudian sampai kepada satu kesimpulan atau pendapat, lalu berbagai pencapaian ini mereka siarkan kepada public.
Mengabdi sepenuhnya kepada ilmu pengetahuan adalah satu-satunya bukti atas ketulusan yang tidak tercemar oleh berbagai kepentingan lain. Bukan hanya jujur dan ikhlas saja keistimewaan pengabdian kepada ilmu pengetahuan di kalangan ummat Islam. Semua ini belum mengangkat segala pengertian kata faridhah ( tugas dari Allah).
Mari kita lihat apa yang harus diperhatikan di dunia pendidikan kita, yang dewasa ini hanya memperjuangkan duniawi saja, yang dimaksud adalah mengejar formalitas,kerja,dan popularitas.
Pertama, menurut Islam ilmu pengetahuan dapat mendekatkan diri kepada Allah, dan tidak akan menjauhkan seseorang dari petunjukNya. Dalam Islam pula, tidak ada yang namanya pemisahan antara ilmu dan agama. Hal ini mustahil akan terjadi, sebab ilmu itu sendiri adalah faridhah ( tugas dari Allah) yang dapat mengantarkan seseorang kepadaNya.
Ilmu adalah cahaya Allah dan pemberianNya yang sangat pantas sekali disyukuri ummat manusia. Di samping itu, kaum Muslim pada masa dahulu, merasakan bahwa mereka berhutang kepada Allah yang harus mereka bayar. Allah telah memberi mereka hikmah dan makrifah, memberi mereka akal untuk berpikir dan menemukan sesuatu yang baru, memberi mereka kemampuan untuk belajar dari pengalaman. Selain itu, Allah juga menyinari mereka dengan seberkas cahaya yang tidak akan terdapat pada diri seseorang kalau bukanlah karena Allah telah meniupkan rohNya kepada setiap manusia. Justru itu, mereka harus membayar hutang tersebut. Bayarannya sangat sederhana sekali, yaitu bersyukur atau berterima kasih kepada Yang Maha pemberi dan Maha Pemurah.
Dengan demikian terlihatlah bahwa ilmu pengetahuan dapat memperkuat keimanan dan menambah kecintaan seseorang kepada Allah.
Dalam sejarah Islam belum pernah terjadi seorang ilmuwan yang menekuni suatu disiplin ilmu, seperti ilmu kedokteran, ilmu alam, astronomi atau kimia menjadikan dirinya terjauh dari aqidah, atau dengan kata lain aqidah tersebut tidak menghalanginya untuk melakukan kajian dan penelitian ilmiah. Ketika itu, dalam jiwa seorang Muslim tak pernah terjadi pergolakan antara ilmu dan aqidah, atau antara ilmu dan agama. Akan tetapi, ilmu pengetahuan tersebutlah yang semakin hidup, berkembang dan maju di bawah naungan aqidah, sehingga tercapailah barbagai penemuan ilmiah. Ini tidak ada yang membantah, sekalipun para ilmuwan barat.
Hal itu terjadi karena (menuntut) ilmu pengetahuan tersebut tidak lain seperti menunaikan suatu amanah, layaknya seperti melaksanakan shalat,puasa dan zakat.
Kedua, ilmu pengetahuan dikalangan ummat Islam terdahulu tidak pernah digunakan untuk kejahatan atau merusak. Karena ia adalah amanah dari Allah.
Pelajarilah ilmu pengetahuan sebanyak mungkin, sesungguhnya mempelajari ilmu tersebut menjadikan jiwa takut kepada Allah, menuntutnya adalah ibadah, menghafalnya adalah tasbih, mencarinya adalah jihad, mengajarkannya kepada orang yang tidak tahu adalah sedekah,dan menggunakannya kepada yang pantas adalah kurban.
Dewasa ini,dunia pendidikan kita dan kaum Muslimin sangat perlu memikirkan dan merenungkan kembali berbagai pengarahan Rasulullah. Sebaiknya mereka mulai lagi menghargai dan menghormati ilmu, setelah menelantarkannya beberapa lama, hal ini sebenarnya bagi orang awam saja tidak pantas, apalagi bagi kaum Muslimin yang terpelajar.
Ummat ini benar-benar meremehkan ilmu pengetahuan. Bila ia seorang siswa atau guru di salah satu sekolah, tujuan terakhirnya adalah untuk bekerja atau mencari uang atau kepopuleran. Orientasi hidup seperti ini mereka dapatkan tidak lain dari bisiskan-bisikan lembaga-lembaga pendidikan yang mereka singgahi, juga keluarga dan pemerintah. Belum lagi cara-cara yang mereka dapatkan untuk mencari kerja seperti menipu, berbohong dan berbagai kecurangan lainnya.
Akibatnya ummat tidak lagi menghargai dan memberikan perhatian sepenuhnya kepada ilmu, malah orang-orang Barat dalam hal ini jauh lebih baik dari kita semua, khususnya kaum Muslimin, padahal merekalah sebenarnya yang lebih berhak mewarisi tradisi ilmiah dari para leluhur yang dulunya hidup di bawah naungan Islam.
Sebab itulah kaum Muslimin sekarang sangat membutuhkan petunjuk dan pengarahan Rasulullah, agar mereka kembali menghargai dan menghormati ilmu pengetahuan. Disamping itu, agar mereka dapat mengembalikan kedamaian ke dalam hati ummat yang telah tercabik-cabik antara agama dan ilmu, antara agama dan kehidupan. Merekalah satu-satunya yang mampu menciptakan kedamaian dalam hati yang telah pecah berkeping-keping itu dengan suatu aqidah yang unit, yaitu aqidah yang menyatukan antara jalur agama dan ilmu, antara langit dan bumi, antara amal dan ibadah, antara dunia dan akhirat serta menghubungkan antara makrifat dengan Allah S.W.T..
Bila langkah-langkah dunia pendidikan kita menyatukan antara aqidah/agama dan ilmu pengetahuan, maka generasi yang kita dapatkan tidak hanya mampu menguasai ilmu mereka, akan tetapi akan mampu menggabungkan anatar agama dan ilmu pengetahuan. Ini akan melahirkan kebudayaan dan peradaban.
Memang tidak mudah untuk merubah sistem yang ada. Setidaknya kita membutuhkan satu generasi untuk menghargai ilmu dan memberikan perhatian yang penuh kepada ilmu pengetahuan. Dilihat pada generasi sekarang ini, sudah terlampau jauh tersesat dan jauh dari nilai-nilai. Bukan berarti kita pesimis terhadap kondisi sekarang ini. Akan tetapi untuk mencetak generasi tersebut, setidaknya mudah kita lakukan semenjak mereka di usia keemasan (golden age), yakni dimulai usia tiga tahun. Mereka mudah di pupuk dan dibina sedemikian rupa, hingga akhirnya pada masa produktif mereka, kita akan menuai hasil. Namun ini harus di dukung oleh sistem pendidikan yang kita miliki. Sistem pendidikan harus banyak mengalami perombakan di sana-sini. [ Miras Danieal ]