"Unsur syetan itu ada tiga. Ketiga-tiganya sedang menguasai dunia kita sekarang ini. Kesemuannya aktif menggoda dan merayu penduduk bumi. Pertama, budaya keji dan porno yang semakin merebak dan menjalar begitu cepat pasca perang dunia pertama. Kedua, film bioskop yang bukan saja sekadar meningkatkan nafsu kebinatangan dalam jiwa manusia. Akan tetapi juga mengajarkan kepada manusia tentang bagaimana cara melaksanakannya. Ketiga, merosotnya akhlak kebanyakan kaum wanita, yang tercermin melalui cara mereka berpakaian, bahkan bertelanjang, senang merokok, berbaur dengan kaum pria tanpa batas dan aturan. Ketiga bentuk kerusakan ini terus tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kita hari demi hari. Ujungnya pasti lenyapnya peradaban dan komunitas nasrani dan diakhiri dengan kehancuran. Seandainya kita tidak mampu menahan laju serangannya maka jangan heran bila sejarah kita akan mengalami nasib serupa dengan apa yang dialami oleh Romawi serta bangsa-bangsa yang hidup sesudahnya. Akibat mengikuti hawa nafsu, mereka terkubur dalam jurang kehancuran dan kebinasaan bersama-sama dengan minuman keras, wanita, dansa,hiburan dan nyanyian mereka”.
Masalah dunia dan kehidupan yang sekarang menggenangi pikiran-pikiran kita, yang mempengaruhi hati dan eksistensi manusia masa kini adalah masalah sosial atau sering disebut dengan masalah moral.
Sudah sifatnya, masalah moral selalu menempati posisi utama dan membawa bahaya. Di dalam kerumitan serta keanekaragaman penyelesaian yang banyak di diskusikan. Ia (moral) bisa merupakan suatu sumber bahaya bagi umat manusia sendiri, karena dalam penjabaran kehidupan manusia, selalu terlibat suatu sistem, yang mempengaruhi inti entitas sosialnya (moralnya).
Masalah moral ini telah semakin hari semakin memprihatinkan, tidak hanya dikalangan umum saja, namun terlebih dikalangan dunia akademik. Hingga akhirnya perjuangan demi perjuangan untuk menanggulanginya mencapai batas maksimal dan melibatkan diri dalam suatu perjuangan dan juga dengan menggunakan berbagai tata cara pemikiran yang diciptakan. Mereka mencoba meraih tujuan untuk mendirikan dan mengatur struktur kehidupan sosial yang terbebas dari ketidaknyamanan. Inilah perjuangan yang melelahkan penuh dengan kesengsaraan dan kepahitan, tawa dan air mata, suatu perjuangan dimana kebahagian bersanding dengan kesengsaraan. Semua ini terjadi karena adanya warna-warni ketidaknormalan serta aneka ragam penyimpangan yang menjadi karakteristik sistem-sistem sosial tersebut. Seandainya tak ada percikan cahaya (agama) yang memancar selama beberapa saat dalam sejarah ummat manusia akan terus berada dalam kesengsaraan dan tenggelam dalam badai kekacauan.
Itulah sekelumit gambaran mengenai perjuangan ummat manusia dalam mencari solusi, sebagaimana mereka tidak bisa mengembangkan hukum gravitasi bumi, seperti itu pula mereka tidak dapat mengubah hubungan-hubungan sosial yang semakin rumit.
Kemerosotan moralitas dihadapan kita ini memiliki gelombang arus yang sangat kompleks. Gelombang tersebut tidak hanya berasal dari internal, melainkan juga dari external. Namun hampir dari separuhnya sisi external mampu menimbulkan sisi internal. Gelombang-gelombang ter sebut mencakup permasalahan ekonomi baik kemiskinan maupun bergelimangnya harta dari setiap individunya, masalah pendidikan atau dunia akademik yang tidak mampu dalam melahirkan generasi-generasi yang berpotensi, penyerapan kebudayaan,penyerapan ideologi-ideologi dan serangan-serangan pemikiran dari berbagai arah dan terakhir minimnya pengenalan agama baik pemahamannya dan prakteknya.
Gelombang ini pun saling tindih menindih, saling keterkaitan bagai mata rantai yang tak terputus. Semakin panjang mata rantai tersebut semakin kokoh keberadaanya.
Kami tidak bermaksud membeberkan babak-babak kehidupan, namun kami ingin lebih dalam mengorek gelombang yang begitu komplek dan menampilkan dihadapan kita semua.
Siklus kemerosotan moralitas yang dihadapan kita ini sungguh telah mencapai tahapan yang memprihatinkan dan gelombang ini pun dapat kita temukan pada abad pertengahan. Dimana para tokoh agama (sekarang ataupun dahulu) menjadi pegawai yang menerima gaji dari siapa saja yang mau memperkerjakan mereka, bahkan sekarang menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Sementara itu ummat tetap menganggap bahwa apa yang dikemukakan oleh ulama itu merupakan petunjuk Allah. Namun sebenarnya mereka dijerumuskan oleh para ulama kejalan yang sesat dan jauh menyimpang dari petunjuk Allah. Namun bukan – sekali lagi – tidak semua ulama berperangai seperti itu. Apa pun yang terjadi di kehidupan ini,pastilah Allah akan menurunkan orang-orang yang benar-benar teguh dan dengan semangat yang tinggi dalam menegakkan kalimat Allah tanpa pamrih dengan keilmuan yang tinggi dan bersih.
Kemerosotan yang kita alami dalam segala bidang, terutama moral, merupakan bom waktu dari penjajahan yang dilakukan oleh barat di abad pertengahan. Namun tidak serta merta barat biang keladinya. Kesombongan yang kita lakukan juga merupakan imbas yang sangat besar bagi kejatuhan kita di abad perte ngahan tersebut. Barat pun menuai hasil dari jerih payah yang diperjuangkannya. Kemajuan teknology, pendidikan, informasi, kebudayaan dan peradabannya.
Kejayaan barat tidak serta merta berjalan dengan kejayaan moralitas mereka. Barat mendapatkan serangan yang hebat dan bertubi-tubi dari dalam diri mereka sendiri. Gelombang rusaknya moralitas yang barat hadapi menghantarkan mereka pada kehancuran. Seperti yang di alami oleh Yunani kuno,Romawi dan Persia. Ketiga peradaban ini pun runtuh tanpa tersisa, hanya puing-puing yang dapat kita lihat. Kehancuran itu bermula dari moralitas manusianya. Hubungan antar jenis dan lawan jenis merupakan salah satu penyakit yang menghantarkan pada kehencuran peradaban-peradaban mereka. Kekacauan ini pula yang menjadi penyebab hancurnya peradaban barat masa sekarang. Dampak kehancurannya sudah terlihat jelas dan sudah dirasakan secara total seperti di Prancis, Amerika Serikat,Inggris,Swedia dan Negara-negara berperadaban modern lainnya.
Prancis lebih dulu. Disetiap perang yang dihadapinya selalu bertekuk lutut yang semenjak tahun 1870 sampai sekarang. Seorang Dokter Prancis ternama Lerier berkata, “Di Prancis 30.000 ribu orang mati akibat penyakit spilis (ini sebelum datangnya AIDS/HIV) dan berbagai penyakit lainnya setiap tahunnya.” Jumlah penduduk bangsa Prancis berkurang drastis. Penyebabnya karena terlalu gampang mengikuti godaan seks antar jenis maupun lawan jenis, tidak memiliki janin dan keturunan, tidak memberi peluang bagi pertumbuhan keluarga dan keturunannya, serta tidak ada rasa tanggung jawab terhadap anak-anak yang dilahirkan dari hasil “kumpul kebo”. Karena itu perkawinan semakin sedikit dan keturunan semakin berkurang
Persentase orang yang melakukan perkawinan terus mengalami penurunan, dibarengi pula oleh peningkatan persentase anak yang dilahirkan secara tidak sah. Di samping itu perlu pula dicatat bahwa 20% dari anak – anak lelaki dan perempuan yang sudah dewasa tidak mau menikah sama sekali.
Kemudian datang era industrialisasi. Bersamaan dengan itu bermula pula masyarakat sosialis di Swedia. Jumlah kaum ibu yang tidak bersuami pada saat itu mencapai 7%. Kemudian meningkat pada tahun 1920 menjadi 16%. dan seterusnya meningkat hingga beberapa tahun kedepannya.
Beberapa lembaga ilmiah sudah mencoba melakukan beberapa kajian mengenai “cinta bebas” di Swedia. Hasilnya membuktikan bahwa seorang pria sudah memulai hubungan seks tanpa nikah pada usia delapan belas tahun. Bahwa 95% dari kaum remaja yang sudah mencapai usia 21 tahun sudah melakukan hubungan seksual!
Bisa juga kita buat perincian untuk meyakinkan orang – orang yang menuntut diperbolehkannya cinta bebas, seperti berikut: 7% dari hubungan seks tersebut dilakukan oleh kaum pria dengan tunangannya, 35% dengan kekasih dan 58% dengan teman sementara!
Dapat pula kita catat persentase hubungan gelap wanita dengan pria sebelum berusia 20 tahun seperti berikut : 3% dari hubungan tersebut dilakukan dengan pasangan prianya, 27% dengan tunangan dan 64% dengan teman sementara!
Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa 80% dari kaum wanita Swedia melakukan hubungan seks total sebelum nikah dan 20% dari mereka bertahan hidup tanpa nikah.
Karena itu lumrah saja bilamana cinta bebas menyebabkan terlambatnya perkawinan serta semakin banyaknya anak – anak yang di lahirkan secara tidak sah.
Wajar sekali bila perpecahan keluarga semakin meningkat... Warga Swedia membela “cinta bebas” dengan mengatakan: “Masyarakat Swedia memandang hina sekali pengkhianatan yang terjadi setelah perkawinan.”Perkataan ini persis seperti pandangan masyarakat modern lainnya dan masyarakat Indonesia dewasa ini. Akan tetapi mereka tidak bisa mempertahankan diri dari kecendrungan semakin menciutnya keturunan dan peningkatan persentase angka perceraian yang semakin menakutkan.
Persentase perceraian di Swedia merupakan yang terbesar di dunia. Satu perceraian terjadi antara setiap enam atau tujuh pasangan berdasarkan statistik yang dibuat olah departemen sosial Swedia.Pada mulanya masih kecil. Akan tetapi angkanya terus bertambah dari waktu ke waktu... Pada tahun 1925 terjadi 26 perceraian dalam setiap seratus ribu penduduk. Angka ini meningkat menjadi 104 pada tahun 1952. Kemudian meningkat lagi menjadi 114 pada tahun 1954.
Akibatnya, 30% dari jumlah pasangan yang ada terpaksa hidup dibawah tekanan keadaan, setelah perempuannya hamil.Perkawinan yang dilakukan secara “darurat” tentu saja tidak bisa bertahan seperti halnya perkawinan yang dilakukan secara wajar. Faktor lain yang mendorong terjadinya perceraian adalah undang – undang Swedia yang tidak memberikan hambatan apa – apa atas kasus perceraian. Apabila suatu pasangan ingin bercerai, maka urusannya mudah sekali.
Setelah kebebasan bercinta dijamin di Swedia, masih ada lagi kebebasan lain yang dapat dinikmati oleh mayoritas warga Swedia, yaitu kebebasan untuk tidak percaya kepada Tuhan. Di Swedia sudah – ketika itu -- berkembang luas gerakan-gerakan pembebasan diri dari kekuasaan gereja. Fenomena ini juga juga berkembang di Norwegia dan Denmark. Para guru di sekolah-sekolah membela kebebasan ini dan menanamkan dalam diri anak didik dan generasi muda.
Generasi mudah sudah menyimpang. Ini adalah fenomena baru yang mengancam generasi muda di Swedia dan negara-negara Skandinavia lainnya. Karena tidak memiliki iman, mereka semakin jauh terseret penyimpangan, narkotika dan minuman keras. Jumlah anggota keluarga yang bapak mereka bersetatus pecandu diperkirakan mencapai sekitar 175 ribu orang, atau 10% dari total anggota keluarga yang ada. Kecendrungan anak-anak berusia puber untuk menjadi pecandu minuman keras semakin berlipat ganda. Jumlah anak puber berusia 15 sampai 17 tahun yang ditahan polisi Swedia dalam keadaan mabuk berat sebanyak 2/3 jumlah orang yang ditahan dengan alasan yang sama semenjak 15 tahun. Kebiasaan minum di kalangan remaja putra dan putri berusia puber berkembang dari status ‘buruk’ menjadi ‘lebih buruk’. Kondisi tersebut diiringi oleh fakta yang sangat mencekam.
Sepersepuluh dari mereka yang mencapai usia baligh di Swedia mengalami goncangan kejiwaan. Para dokter Swedia menyebutkan: 50% pasien mereka mengidap gangguan akal yang menyertai penyakit fisik. Tidak diragukan lagi bahwa berlebihan dalam menikmati kebebasan “tidak beriman”, dapat melipatgandakan penyimpangan kejiwaan dan semakin memperbanyak faktor yang meretakkan keluarga serta semakin memperdekat manusia ke jurang penyusutan keturunan.
Keadaan di Amerika tidak lebih baik dibandingkan keadaan ini. Tanda-tanda kehancuran datang silih berganti. Tetapi bangsa Amerika tidak peduli dengan tanda-tanda tersebut dikarenakan kesombongannya. Faktor-faktor kehancuran terus menggerogotinya dari dalam,meskipun di luar kelihatan sangat menyakinkan. Pergerakannya sangat cepat, sehingga ,menimbulkan kehancuran di dalam jauh lebih cepat dari apa yang kelihatan di luar.
Terakhir presiden Amerika Serikat mengumumkan bahwa enam dari setiap tujuh pemuda AS tidak layak menjadi prajurit akibat kerusakan moral yang mereka alami dan salah satu majalah Amerika pernah menulis semenjak seperempat abad yang lalu, disebutkan :
“Unsur syetan itu ada tiga. Ketiga-tiganya sedang menguasai dunia kita sekarang ini. Kesemuannya aktif menggoda dan merayu penduduk bumi. Pertama, budaya keji dan porno yang semakin merebak dan menjalar begitu cepat pasca perang dunia pertama. Kedua, film bioskop yang bukan saja sekadar meningkatkan nafsu kebinatangan dalam jiwa manusia. Akan tetapi juga mengajarkan kepada manusia tentang bagaimana cara melaksanakannya. Ketiga, merosotnya akhlak kebanyakan kaum wanita, yang tercermin melalui cara mereka berpakaian, bahkan bertelanjang, senang merokok, berbaur dengan kaum pria tanpa batas dan aturan. Ketiga bentuk kerusakan ini terus tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kita hari demi hari. Ujungnya pasti lenyapnya peradaban dan komunitas nasrani dan diakhiri dengan kehancuran. Seandainya kita tidak mampu menahan laju serangannya maka jangan heran bila sejarah kita akan mengalami nasib serupa dengan apa yang dialami oleh Romawi serta bangsa-bangsa yang hidup sesudahnya. Akibat menuruti hawa nafsu, mereka terkubur dalam jurang kehancuran dan kebinasaan bersama-sama dengan minuman keras, wanita, dansa,hiburan dan nyanyian mereka.”
Kenyataannya,Amerika tidak mampu membendung laju serangan ketiga bencana tersebut. Bahkan Amerika menyerah total dan membiarkannya berlalu melewati jalan yang pernah dilalui bangsa Romawi.
Seorang wartawan lain menulis menge- nai gelombang penyimpangan remaja di Ame rika,Inggris dan Prancis untuk menggambarkan bahwa kemerosotan moral remaja kita masih kecil (dengan sombongnya)dibandingkan mereka. Beliau berkata :
“Gelombang kriminalitas di kalangan remaja puber di Amerika semakain meluas. Pemerintah negara bagian New York mengumumkan bahwa mereka akan menjadikan penanganan masalah ini sebagai induk program reformasi yang dilaksanakan di negara bagian tersebut.
“Pemerintah negara bagian tersebut sengaja membangun wilayah – wilayah pertanian, proyek – proyek rehabilitasi, klub – klub olahraga dan lain sebagainya. Namun demikian, mereka mengumumkan bahwa penanganan korban kecanduan narkotik yang secara khusus terjadi di kalangan mahasiswa perguruan tinggi, seperti morfin dan kokain tidak termasuk dalam program tersebut. Mereka menyerahkan masalah ini ke departemen kesehatan.”
Sementara di Inggris, seringkali terjadi pada dua tahun terakhir perkosaan terhadap kaum wanita dan gadis muda belia di jalan – jalan perkampungan. Sebagian besar pemerkosa atau penjahatnya adalah remaja usia puber. Pada beberapa kasus si pemerkosa sengaja mencekik si gadis atau anak perempuan yang masih kecil dan meninggalkannya sebagai mayat yang sudah kaku agar rahasianya tidak terbongkar dan pelakunya tidak dikenal ketika polisi melakukan penyelidikan.
Sekitar tahun 1960 an, seorang kakek tua sedang dalam perjalanan menuju kampungnya. Tiba – tiba dia melihat dipinggir jalan dan dibawah pohon kayu seorang remaja sedang meniduri seorang gadis remaja... Lantas si kakek ini menghampiri mereka. Kemudian memukul remaja tersebut dengan tongkatnya seraya menghardik dan mencaci makinya. Dia berkata: Apa yang di lakukannya, sebenarnya tidak boleh dilakukan di jalanan umum! Remaja tersebut langsung berdiri dan menghajar si kakek pada bagian perutnya sekuat tenaga sehingga si kakek jatuh terjerembab. Kembali remaja tersebut menghajar si kakek pada bagian kepala dengan sepatunya. Dia terus menghajar si kakek dengan keras sekali sehingga kepala si kakek penuh dengan memar. Yang memprihatinkan remaja tersebut baru berusia 15 tahun sementara gadisnya berusia 13 tahun.
Komite empat belas Amerika yang bertugas mengawasi kondisi akhlak negara melaporkan bahwa 90% rakyat Amerika mengidap berbagai macam penyakit menular yang mematikan. Hal ini terjadi sebelum ditemukannya obat-obatan modern semacam antibiotik seperti vinicyllin dan astriphtomacyn. Jaksa Landsey kota Danver menulis bahwa setiap dua status perkawinan mengalami satu kasus perceraian. Seorang dokter dunia terkenal,Alexis Karel, dalam bukunya Al-Insan Dzalika Al-Majhul, menulis : “Ketika kita sedang berusaha membrantas penyakit diarepada anak-anak, penyakit paru-paru,sesak nafas dan tipus, tiba-tiba pada saat yang sama muncul berbagai macam penyakit yang diakibatkan kerusakan dan kemerosotan moral.
Ditemukan sejumlah besar penyakit jaringan syaraf dan daya pikir. Di beberapa negara bagian AS jumlah orang gila yang ada di pusat-pusat kesehatan melebihi jumlah pasien yang ada di semua rumah sakit lain. Seperti halnya penyakit gila, gangguan syaraf dan melemahnya daya pikir juga terus bertambah. Ini adalah unsur yang paling efektif membuat orang sengsara dan menghancurkan keluarga. Kerusakan akal jauh lebih berbahaya terhadap peradaban dibandingkan penyakit menular yang telah banyak meguras perhatian para pakar kesehatan dan dokter sampai saat ini.
Itulah sedikit gambaran dari masa lalu. Data-data ini belum termasuk tindakan-tindakan lainnya, seperti pembunuhan,pemerkosaan,pencurian,kemiskinan dan pengangguran,narkoba,korupsi,perjudian dan tindakan kriminal lainnya.
Berbagai macam penyakit pun bermunculan, hingga detik ini para pakar kedokteran belum mampu menemukan obat untuk menyembuhkan AID/HIV, hanya pencegahan rutin saja yang dapat diperoleh.
Namun barat, dewasa ini mulai ada sedikit rasa kesadaran walau tidak sepenuhnya mereka lakukan. Hanya komunitas-komunitas kecil bermunculan dengan membawa suara-suara keagamaan,menjunjung tinggi moralitas dan lainnya. Amerika serikat, Prancis, Inggris, Australia, Jerman, Belanda, Italia dan beberapa negara lainnya, populasi ummat Islam tahun demi tahun meningkat. Amerika saja populasi muslim sudah bertengger di urutan ke tiga setelah Yahudi dan Nasrani. Populasi ini semakin meningkat terlebih setelah terjadinya tragedi 11 Sept 2004.
Bagaimana Dengan Kita?
Negeri yang mendapat gelar muslim terbanyak? Organisasi Islam terbesar? Mendapat anugerah kekayaan alam terindah? Sepertinya bom-bom waktu tersebut sudah meledak satu demi satu. Kekacauan ada dimana-mana, pemerkosaan bagai santapan pagi,perzinaan bagaikan makan malam, perjudian bagaikan aktivitas yang menyibukkan,korupsi bagaikan uang halal,pembunuhan bagaikan rutinitas sehari-hari,homo seksual bagaikan istri simpanan, perselingkuhan bagaikan poligami, kebohongan, kemunafikan,berkeluh kesah, pengkhianatan, caci maki, arogansi, adalah kepribadian bangsa ini.
Prostitusi bagaikan ladang rezeki yang mengantarkan pemiliknya dan pelakunya ke surga dunia, penjualan anak-anak bayi dan di bawah umur lebih nikmat dan menjanjikan daripada jualan krupuk. Bisnis pendidikan lebih menjanjikan dengan gaji yang menggiurkan, jual nama partai untuk mencapai kekuasaan lebih baik daripada menjadi guru yang baik, guru menjual ijazah dan mencari sertifikasi, karena keikhlasan hanya ada pada ajaran agama, pendidikan hanya sebatas ijazah belaka. Menjadi penyanyi atau bintang film lebih baik daripada jadi ilmuwan dan masih banyak lagi keganjilan dan keanehan yang sekarang dianggap bermoral dan bermartabat. Ujung-ujungnya adalah uang. Pemerintah pun berusaha sekuat tenaga untuk menaikkan gaji pegawai, yang dianggap sebagai langkah mengentaskan kemiskinan,mensejahterakan yang akan menghilangkan segala macam kekacauan yang ada dan disisi lain ini adalah suatu sikap pemerintahan sekarang untuk tetap bertengger di atas kekuasaan.
Langkah ini diambil lantaran kita sudah terlalu jauh terseret arus yang dulu kita lupakan. Disadari atau tidak sistem perekonomian yang kita alami dewasa ini merupakan sisa-sisa penjajahan kita di masa lalu. Penjajahn yang menimpa kita di abad yang lalu dan ini merupakan konsekuensi logis dari kemerosotan kita di bidang ekonomi dan lainnya. Kalau kelemahan semacam ini telah melanda diri kita sendiri, maka dengan sendirinya – sebagai konsekuensi logis – kita akan tertimpa malapetaka dan bencana dan itu sudah kita rasakan sendiri dalam segala bentuk dewasa ini.
Penjajahan disini tidak hanya secara fisik atau kekayaan alam yang seperti dilakukan oleh Belanda, Jepang di negeri kita. Namun jauh dari sekadar itu. Sampai detik ini pun penjajahan masih tetap dilakukan dan terus berjalan. Setidaknya ketika Belanda menginjakkan kakinya di tanah pertiwi ini. Dia telah menanamkan bom-bom waktu dan ajaran-ajaranya berupa filsafat hidup, politik, ekonomi, budaya, pendidikan bahkan agama sekalipun. Dan itulah tujuan dari penjajahan kepada suatu negeri.
Dalam gambaran yang sekarang menghantui kita, bahwa sistem perekonomian kita tidak luput dari sistem kapitalis. Dimana kebebasan ekonomi didasarkan pada kepercayaan terhadap ekonomi bebas, yang di atasnya didirikan kebijaksanaan pintu terbuka, yang memutuskan untuk membuka semua pintu dan menyiapkan segala lapangan bagi rakyat dalam bidang ekonomi. Jadi setiap orang bebas untuk memiliki, untuk kepentingan konsumsi maupun produksi. Pemilikan produktif semacam itu, yang mendorong penumpukan modal besar-besaran tanpa batas, sama-sama diizinkan bagi setiap orang. Setiap individu memiliki suatu kebebasan mutlak untuk berproduksi, dengan norma atau metode apa-pun, menumpuk, menambah dan memperbanyak kekayaan demi kepentingan dan keuntungan pribadinya sendiri.
Kekayaan yang dikuasai oleh kelompok kapitalis, di bawah naungan ekonomi absolut dan kebebasan-kebebasan individual, yang menangannya sesuai dengan mentalitas materialistik. Jiwa sistem kapitalis merupakan anak dari ideologi dunia materialistik.
Pendidikan
Pendidikan kita sampai detik ini masih berfokus pada permasalahan duniawi dan materi. Kesalapahaman mengenai tujuan pendidikan merupakan cambuk dan pemicu yang sangat besar dalam melahirkan generasi-generasi yang buruk. Kita dengan sangat muda menemukan bahwa masyarakat memahami pendidikan itu dengan satu tujuan, Kerja!, yang ada dibenak sebagian besar masyarakat. Jika membicarakan pendidikan sangat dipastikan dua kata : Kerja dan Uang. Karena orientasinya yang duniawi,akibatnya kita dapat melihat bahwa segala cara pun menjadi halal untuk dilakukan. Maka lambat laun pola pikir pun terbentuk bahwa hidup dan tujuan hidup menjadi pekerja/buruh, menghasilkan uang. Dan tidak adanya potensi yang mampu dikembangkan. Kebodohan menjadi kebanggan. Tanpa mereka sadari, nilai manusia diukur oleh rupiah. Moral pun tidak ada, akhlak amburadul. Mereka tidak memiliki nilai-nilai kesopanan, nilai-nilai keagamaan. Yang jelas dan pasti apa yang ada di benak mereka adalah pendidikan dianggap sebagai suatu sarana untuk mendapatkan kerja.
Pihak lembaga pun tutup mata dengan fenomena ini. Karena, memang mereka pun ber-ideologi bahwa sekolah merupakan tangga menuju bekerja. Ironisnya, lembaga-lembaga pendidikan pun sudah tidak ada rasa kemanusian lagi, karena mereka memasang biaya pendidikan yang begitu tinggi. Maka hanya orang-orang kaya saja yang mampu menikmati bangku sekolah. Sikap ini di ambil lantaran mereka melihat pangsa pasar yang begitu menjanjikan dan untuk memperkaya diri. Adapun orang-orang miskin akan dibantu dengan zakat-zakat saja.
Kami tidak mengatakan bahwa bekerja itu salah. Namun kami melihat bahwa apa yang mereka perjuangkan tidak di imbangi dengan nilai-nilai moral, keagamaan dan ilmu pengetahuan yang cukup. Yang di perjuangkan hanya sebatas apa yang mereka mampu lakukan. Efek dari ini semua adalah sebuah orientasi duniawi dan mengabaikan nilai-nilai agama.
Belum lagi sederetan fakta dimana anak didik sangat menjunjung tinggi hedonisme (budaya glamor/kemewahan), permisifisme (budaya serba boleh),konsumerisme, budaya instanisme,budaya hiburan. Ini semua akibat dari keringnya nilai-nilai rabbaniyah (aqidah yang benar) dalam pendidikan di Indonesia. Pendidikan agama yang ada hanya mendapatkan jadwal yang sedikit waktunya. Adapun ilmu-ilmu umum pun cendrung berorientasi materi belaka. Sehingga tidak serta merta menjadikan anak didik lebih dekat dengan Tuhan nya dan tidak memiliki potensi untuk dikembangkan. Kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler justru lebih terarah pada pembenaran hedonisme,permisifisme,konsumerisme,instanisme. Fenomena ini tidak hanya dari kalangan perguruan tinggi saja,namun merambah juga dikalangan SD,SMP,SMA,SMK,STM dan segala macam lembaga pendidikan. Ironisnya lembaga-lembaga tersebut menciptakan paradigma bahwa setelah lulus mudah berkerja, dicarikan kerja,diterima dimana saja, sebelum lulus sudah bekerja dengan gaji yang tinggi dan segudang iklan lainnya ditonjolkan untuk menarik peminat sebanyak-banyaknya. Sedangkan masyarakat yang awam tertipu, terbodohi oleh rayuan bujuk mereka.
Itulah segudang per masalahan dan masih bertumpuk lagi permasalahan-permasalahan, yang semuanya belum ada ketegasan dan pemecahan yang begitu serius untuk menanggulanginya. Untuk pembahasan mengenai pendidikan ini kan kami bahas labih dalam lagi di edisi mendatang.
Budaya & Peran Pemikiran
Setelah kita membahas masalah ekonomi, pendidikan yang begitu carut marutnya, begitu mengiris hati kita. Dengan melihat keadaan dan kondisi tersebut, maka dengan mudah terjadi pergeseran nilai-nilai dari agama dan budaya dan gaya hidup. Efek dari pergeseran ini sangat kentara sekali. Dimulai dari hal yang terkecil hingga permasalahan aqidah agama kita. Sekali lagi sikap hedonisme, permisifisme, konsumerisme, instanisme menjadi tolak ukur dalam kehidupannya. Lihatlah...kita bangga dengan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Kami tidak mengatakan bahwa mempelajari bahasa Inggris jelak, terlebih-lebih haram. Tidak,tidak sama sekali. Pelajarilah,bahkan tidak hanya bahasa Inggris, sebanyak-banyaknya. Agar kita tidak mudah ditipu dan dibodohi. Namun kita tetap harus belajar bahasa negeri kita sendiri dan bahasa Arab. Karena bahasa Arab adalah bahasa Agama kita. Agar kita tidak tersesat dan selamat di akhirat. Dengan mempelajari dan memahami Al-Qur’an berarti dapat berkomunikasi dua arah dengan Allah, Pemilik kehidupan ini. Dalam Al-Qur’an terdapat pula peta yang menunjukkan jalan ke surga.
Kembali lagi ke permasalahan kita. Efek tersebut hingga saat ini sudah memasuki tahap memprihatinkan. Mereka kehilangan nasionalisme. Karena mereka menganggap rendah bangsa sendiri. Lihatlah anak-anak muda-mudi tersebut, mereka lebih senang memamerkan bendera Amerika dan Inggris daripada Mereh Putih, atau mereka tidak sadar sering menggunakan lambang-lambang Yahudi dan Nasrani dalam assesorisnya. Demikian juga berdampak pada budaya makanan,musik, film,tata rias rumah, pergaulan dengan facebook,twitter dan komunitas jejaraing lainnya. Sebenarnya mereka semua tertipu dan semakin disesatkan oleh gaya hidup yang sengaja diciptakan untuk merusak aqidah Islam dan nasionalisme kita.
Belum lagi pergaulan antar jenis dan lawan jenis, yang sering disebut berpacaran,menonton film-film porno,meng hadiri konser-konser musik,kafe-kafe yang bergaya ala barat. Ber pacaran dalam kamus yang sebenarnya adalah mencoba seseorang untuk menjadi pasangannya. Bila percobaan tersebut gagal atau tidak menemukan kecocokan,maka mereka akan mencoba mencari penggantinya.
Gaya hidup dan budaya seperti ini merupakan simbol-simbol pemujaan terhadap hawa nafsu, yang terus mengerogoti sendi-sendi kehidupan kita. Orang-orang yang pegila kerja, pemuja harta yang sekuler.
Apa yang kami paparkan diatas merupakan imbas dari peninggalan-peninggalan masa lalu yang sekarang baru kita rasakan dan terlebih lagi bahwa keadaan ini juga dipengaruhi oleh peperangan yang dilancarkan oleh Barat, yang notabene-nya mereka akan terus memerangi Timur hingga Timur pun kehilangan eksistensinya. Inilah yang kita sebut dengan Perang Pemikiran.
Perang Pemikiran ini adalah serangan pemikiran secara bertubi-tubi yang yang tersusun rapi, sistematik dan terancang dengan baik yang dilakukan oleh umat yang kuat terhadap umat yang lemah untuk merubah kepribadiannya, budayanya, pola pikirnya, pemahamannya dan kehidupannya sehingga kemudian menjadi pengikut umat yang kuat tersebut.
Serangan-serangan tersebut meliputi politik,militer,ekonomi,pendidikan,pengajaran, buku-buku, media cetak/televisi, paham orientalis, pesta-pesta, olah raga, hiburan, music-music, film-film, hedonisme, lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi,ideologi-ideologi, feminisme, teknology dan propaganda-propaganda.
Ironisnya kita tidak sadar dan tertipu oleh perang pemikiran tersebut. Hingga akhirnya kita pun telah terbawa oleh arus tersebut yang menjadikan kita mencintainya, mentaatinya, mengikuti cara hidupnya, menyerupai prilakunya, sampai memberikan loyalitas kepada mereka dan tidak sedikit dari kita telah berpindah agama. Perpindahan agama ini meningkat dari tahun ke tahunnya. Sedangkan yang lebih parah lagi kita menjadi kaum-kaum munafikun.
Perang pemi kiran pun memiliki tahapan atau fase, dimana fase tersebut dimulai dari zaman khilafah Islamiyah. Seiring jatuhnya Khilafah Islamiyah, paham nasionalisme (fanatik kebangsaan) disebarkan kesetiap negara Islam. Kekauman, kesukuan dan kebangsaan di munculkan secara hebat, sehingga muncul kepentingan-kepentingan yang bersifat kelompok, kepercayaan pada Khilafah Islamiyah, bahkan pemberontakan-pemberontakan mulai mewarnai perjalanan sejarah khilafah Islamiyah. Pada saat itu juga bermunculan berbagai kelompok yang mulai memisahkan dari khilafah islamiyah. Pada saat itu juga bermunculan berbagai nama yang muncul, sebagai tandingan Khilafah Islamiyah. Keadaan semakin tidak terkendali menjelang jatuhnya Khilafah di setiap negara Islam dan terjadi huru hara di mana-mana. Kondisi ini tidak terlepas dari usaha pihak Barat untuk memperlancar kejatuhan Khilafah Islamiyah.
Setelah jatuhnya Khilafah Islamiyah, serangan-serangan dari Barat semakin gencar dengan program-program yang mereka sodorkan. Dalam rangka peperangan pemikiran, dimulai dari perubahan dalam politik, untuk tidak lagi menggunakan sistem Islam, melahirkan Demokrasi, Al-Qur’an di ganti dengan undang-undang yang mereka buat, perubahan tatanan masyarakat di rubah. Menyusul Akhlak. Faham Ateis di sebarkan, faham westernisasi (gaya hidup ala barat), pembebasan wanita. Hukum-hukum Islam di rombak dengan seenaknya. Faham-faham sekulerisme di tanamkan ke setiap anak-anak muda.
Alhasil peperangan tersebut tidak mampu dibendung lagi. Lantaran ulama-ulama dan pemuka pemerintah yang bersih telah disingkirkan atau setidaknya sebagian dari mereka telah terbawa arus dan pengikut mereka.
Arus tersebut hingga kini masih menyerang kita melalui berbagai saranan, seperti kita sebutkan di atas meliputi media/pers (baik media cetak,televisi,radio,internet), buku-buku dan berbagai macam teknology lainnya), perombakan sistem pendidikan/pengajaran, hiburan,film-film, music-music, klub-klub, paham orientalis, pesta-pesta, olah raga, hedonisme, lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi,ideologi-ideologi, feminisme (pembebasan wanita/Gender), teknology, dan propaganda-propaganda.
Begitu besar dan hebatnya serangan-serangan tersebut menyebabkan pengaruhnya sampai ke akar generasi muda kita. Inilah serentetan tragedi-tragedi dalam kaca mata Degradasi Moral atau kita sebut kemerosotan dan kehancuran moralitas dari generasi kita di Indonesia, khususnya. [ Tim Hibrida ].