Kapitalisasi & Laju Degradasi Moral


Acap kali kita mengeluh serta mengumbar impian ketika motor milik kita mulai ketinggalan trend dan tersingkir oleh membanjirnya keluaran baru pabrikan otomotif Jepang, China, maupun India. Kemudian, pada saat mengendarai motor jadul kita ada ketidakpedean meruap, dan merasa berada di bawah tekanan lingkungan. Sadarkah kita bahwa pada prinsipnya kita sedang meng-kapitalisasi harga diri kita sendiri?
Hari ini harga diri dan nilai seseorang pribadi seakan memang hanya diukur berdasarkan kepemilikan barang serta besaran kapital yang ada pada dirinya. Hilang sudah kebernilaian diri karena sumber daya manusianya seperti intelektualitas, skill, keluhuran budi pekerti, kejujuran, maupun kesungguhan mengemban amanat. Faktanya, caleg yang terbukti korupsi juga masih bisa terpilih, pelaku kejahatan juga bisa terbebas dari vonis bersalah pengadilan, banyak ABG yang tidak segan meng-upload materi privasinya ke public.
Kapitalisme bertudung  globalisasi ataupun modernisasi yang berbasis kebudayaan Western menunjukkan gambaran melemahnya eksistensi religi dalam kehidupan suatu masyarakat. Globalisasi yang menjadi ujung tombak mewabahnya kapitalisme menerobos dimensi struktur kolektivitas masyarakat. Di satu sisi, bahkan hingga tingkat penyelenggaraan negara. Kapitalisme secara nyata berperan besar dalam penentuan kebijakan negara. Perspektif kapitalisme melahirkan pola kepemimpinan negara yang lebih berpihak pada kepentingan kelompok kaum kapitalis.
Kasus penyelewengan dana dalam kasus Bank Century yang menyeret oknum anggota DPR, oknum pejabat teras dalam kabinet pemerintahan, oknum di lingkungan kepolisian negara, hingga berakibat pada melemahnya lembaga benteng terakhir pemberantasan korupsi di Indonesia (KPK), menjadi gambaran kian merebaknya krisis kepercayaan pada masyarakat Indonesia. Tidak terlalu berlebihan apabila Yudi Chrisnandi (Indo Pos, 2007) telah menyebut masyarakat Indonesia sebagai distrust society.
Kapitalisme senantiasa menjadi dalang di balik kelindan ‘Opera Van Politik’ negara di seluruh penjuru dunia. Karakter kapitalisme yang eksploitatif mengemas imperialisme dalam retorika politik seperti pembangunan demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM). Kapitalisme secara vulgar berperan dalam proses perpolitikan suatu negara dengan senantiasa mengemas isu-isu krusial yang beraroma sosial sebagai wacana kemanusiaan universal. Isu-isu perdamaian, pembangunan ekonomi kerakyatan, penegakan demokrasi dan HAM menjadi menu sehari-sehari dari Benua Amerika hingga Benua Afrika dan Asia. Secara gamblang, gerakan ini berorientasi untuk membentuk opini publik agar menyokong ekspansi ekonomi.
Secara historis, kapitalisme merupakan ajaran yang didasarkan pada asumsi bahwa manusia makhluk yang tidak boleh dilanggar kemerdekaannya dan tidak perlu tunduk pada batasan-batasan sosial kolektivitas masyarakat. Kapitalisme merupakan konsep yang cenderung memberi ruang pada kepemilikan pribadi tanpa batasan. Sebaliknya, komunis merupakan ajaran yang berpijak pada pandangan bahwa masyarakat merupakan dasar dan individu tidak bisa memisahkan eksistensinya dari ruang sosial masyarakat. Dalam komunisme, pandangan ini diimplementasikan pada aksi menyerahkan kepemilikan individu pada negara (sebagai representasi masyarakat). Kedua ajaran ini memposisikan manusia sebagai individu yang kehilangan hak milik secara holistik. Baik kapitalisme maupun komunisme, pada hakekatnya, melakukan pengekspoitasian hak-hak pribadi melalui piranti kelembagaan negara. Kapitalisme menaungi sistem sosial yang menekankan kepentingan individu dan menganut sistem sentralisasi kepemilikan individu baik dalam kerangka organisasi atau negara. Kapitalisme memanfaatkan negara sebagai instrumen justifikasi “perampasan” kekayaan negara tanpa batas. Berbeda dengan komunisme, yang secara gamblang melakukan aksian penyerahan kepemilikan pada negara, pada kapitalisme penyerahan kepemilikan ini dikemas dalam retorika yang cenderung penuh kebohongan dan menyesatkan.
Dengan dalih demokrasi dan persamaan hak, kapitalisme menyembunyikan fakta bahwa kelompok yang memiliki kekuatan kapital memegang sumbu kekuasaan. Fakta bahwa banyak individu yang nir kapasitas dan rekam jejak yang berkualitas dapat menduduki posisi basah, tidak bisa dilepaskan dari kekuatannya dalam sektor kapital. Kegelisahan publik Indonesia pada susunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II yang sarat dengan koncoisme dan titipan asing patah oleh hegemoni media massa yang berdiri dalam lingkungan kapital tertentu.
Padahal kelindan politik antara ideologi, kapitalisme, komunisme, maupun agama dalam konteks negara acap kali berakhir pada konflik vertikal-horisontal pada masyarakat. Kutub-kutub ini senantiasa berkonfrontasi dalam proses pengambilan kebijakan negara, sebagai dalih argumentasi kepentingan ataupun pijakan mendasar kepentingan itu sendiri. Tak mengherankan apabila dalam pesta demokrasi kemarin beragam jargon seperti ‘Ekonomi kerakyatan’, ‘Neolib’, ‘Ekonomi Jalan Tengah’, atau pun ‘Yudhoyonomic’ menjadi materi perbincangan dari layar televisi hingga warung kopi.
Barangkali jika para pemimpin negeri gemah ripah loh jinawi ini bersedia untuk jujur, pastilah bersemayam kesadaran bahwa kapitalisme tidak berperikemanusiaan. Mengapa? Karena, kapitalisme terimplementasi dalam bentuk penghisapan hak-hak orang lain secara terorganisir dan sistematis, yang dilegitimasi dengan peraturan perundangan. Efeknya bagi paradigma individu, kapitalisme membentuk karakter manusia materialis, sekuleris, hedonis, eksklusif, dan narsistik. Ironisnya, negara justru memberikan ruang hidup bagi tumbuh kembangnya kapitalisme yang dikemas dalam modernisasi dan globalisasi. Akibatnya, kapitalisme memarginalkan posisi dan peran agama dalam diri individu maupun dalam konstruksi masyarakat. Realitanya, apabila anda orang tua anak gadis yang menerima pinangan, maka yang ada dalam benak kita tentang laki-laki peminang adalah apa pekerjaannya? berapa penghasilannya? merek apa motornya? Bukan pertanyaan seperti, benarkah masih perjaka? Atau bagi yang muslim, bisakah laki-laki ini mengaji? Atau bagaimana akhlaknya?
Sejujurnya, bagaimana posisi dan peran agama dalam proses kapitalisasi di Indonesia?
Dalam progresivitasnya, kapitalisme sukses menciptakan varian-varian penyakit sosial pada masyarakat serta menimbulkan perilaku sosial yang bertentangan dengan agama. Kejahatan sosial yang mengatasnamakan agama seringkali muncul dalam kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini yang mulai mengkultuskan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kepedean untuk membusungkan dada dan menjual belikan agama, ataupun melakukan aksi teror dengan dalih jihad ( tanpa dasar ilmu agama yang baik) merupan bukti konkret marjinalisasi agama. 
Akibatnya, masyarakat pun (dipaksa) menikmati imlikasi negatif yaitu proses dehumanisasi. Herannya, pergerakan manusia untuk lebih takluk pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ketimbang agama didukung penuh oleh pemerintah dengan mengoptimalkan pendidikan sains dan ilmu eksakta daripada ilmu sosial dan agama.
Ashley Montague dan Floyd Matson pernah mengatakan bahwa dehumanisasi sama tuanya dengan Homo Sapiens (manusia), dan legenda mengenai kemunculannya menggambarkan masa-masa datangnya kejahatan di dunia. Dalam mitos-mitos dunia Barat, kondisi harmoni tiba-tiba diakhiri dengan sebuah krisis yang terjadi karena godaan ego yang menampakkan diri. Jean Jacques Rousseau menggambarkannya sebagai keadaan bahagia yang dihancurkan oleh datangnya peradaban yakni, industri, pertanian dan pelembagaan hak milik. Karl Marx, seorang Nabi Perjanjian Lama yang berubah menjadi humanis sekuler, mengajukan pendapat yang sama tetapi tidak begitu romantis. Marx memusatkan perhatian pada hak milik dan perbuatan kekuasaan melalui perjuangan kelas sebagai penjelasan ketidakmanusiaan manusia terhadap manusia. Melalui Marx (dan gurunya Hegel) konsep modern tentang alienasi diperdalam menjadi pusat perhatian teori sosial.
Konsep alienasi menjadi tema sentral ketika para cendekiawan Barat terutama para kaum intelektualis dan teknokrat memperbincangkan tentang proses krisis moralitas manusia yang mengharuskan mereka dicampakkan oleh Tuhan ke dunia. Kaum eksistensialis menilai bahwa manusia dilempar oleh Tuhan ke dunia karena manusia tidak mematuhi aturan moral agama. Ketika itu manusia mengalami kehilangan makna hidup dan tidak tahu kemana arah yang harus dituju. Sebagaimana berabad perjalanan untuk berjumpa antara Adam dan Hawa ketika pertama turun ke dunia.
Agama adalah sebuah ekspresi dari seluruh perilaku yang dimiliki oleh manusia. Maka, agama tidak diartikulasikan dalam perilaku secara eksplisit yang hanya berdimensi pada rasionalitas semata, seperti akal, perasaan, atau tindakan manusia yang sempit. Tetapi agama adalah sebuah sistem keyakinan yang filosofis transedental dan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia termasuk konsep negara bangsa. Agama lahir dari sistem dialektika intelektual dan mengedepankan aspek akal semata. Kendatipun akal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari agama. Namun akal memiliki keterbatasan. Agama lahir melalui proses diskursus intelektual manusia dengan mengedepankan upaya de-idiologisasi agama, maka agama yang demikian hanya menjadi mitos globalisasi dengan mengagung-agungkan logika.
Kegagalan negara dalam mengantisipasi gerakan kapitalisme lantaran negara hanya bisa memproduksi perspektif manusia berjangka pendek (keduniawian) dan mengabaikan pandangan jangka panjang (akhirati). Sistem sosial yang dibangun kapitalisme berorientasi pada kebendaan dan manusia secara kodrati memiliki potensi itu. Sementara itu kemampuan mengendalikan diri dari potensi keduniaaan tidak berimbang karena peranan agama dalam negara yang lemah. Dan negara merupakan pusat produksi sistem sosial masyarakat yang tidak bisa memainkan peran agama dengan baik. Kalau demikian, maka bisa disimpulkan masa depan moralitas bangsa menjadi sangat gelap.
Strategi untuk mereduksi sistem kapitalisme yang telanjur mengkristal dalam perilaku sosial masyarakat ini adalah dengan kekuatan negara, karena negara merupakan pemegang kekuasaan. Dalam konteks itu, bangsa kita yang dikenal sebagai bangsa beradab. 
Konsep agama didasarkan pada keyakinan yang tidak memisahkan individu dari masyarakat dan tidak memandang sebagai dua kekuatan yang bertentangan antara satu sama lain. Kehidupan yang baik di dunia ini yang harus dibangun dan dipertahankan negara jelas mempunyai hubungan dengan tujuan yang lebih afdhal. Dengan semangat menjalankan konsep semua agama samawi, dapat membantu manusia dalam mencapai pemenuhan dunianya dengan menanamkan kebajikan moral. Konsep masyarakat demokratis dan egaliter berdasarkan semangat pluralisme. Agama memiliki sistem keseimbangan antara pandangan jangka pendek dan panjang demi kemaslahatan bangsa dan umat manusia.
Hal ini patut direnungkan bersama, untuk mencegah laju degradasi moralitas bangsa terutama generasi muda.